PERAN LAKI-LAKI DALAM PENDIDIKAN KELUARGA*

Apabila ada cinta dalam perkawinan,

Akan ada suasana harmoni dalam keluarga,

Ketika suasana harmoni tercipta dalam rumah,

Maka ada kedamaian dalam masyarakat,

Apabila ada kedamaian dalam masyarakat,

Maka akan tercipta kemakmuran dalam negara,

Apabila ada kemakmuran dalam negara,

Maka akan ada kedamaian di seluruh dunia

(Filsafat Confusius) [1]

 

Pengantar

Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama, karena dalam keluarga inilah anak pertama-tama mendapat didikan dan bimbingan. Tugas utama dari keluarga bagi pendidikan anak sebagai peletak dasar bagi pendidikan. Orang tualah yang menjadikan anaknya baik atau buruk. Dari sinilah banyak cara menjadikan ranah pendidikan keluarga harus lebih efektif dan menghasilkan generasi yang baik. Seperti upaya pendidikan dilakukan jauh sebelum anak lahir, yakni di  dalam kandungan. [2]

Sering kali yang sangat berperan dalam pendidikan keluarga adalah ibu (perempuan). Hal ini disebabkan oleh ibulah yang lebih banyak dalam kegiatan kerumahtanggaan (domestic).  Kebalikannya, laki-laki (ayah) banyak berperan di sektor luar (publik). Ungkapan tersebut didukung hasil penelitian Nurun Najwah yang dilakukan di lingkungan akademisi di UIN Sunan Kalijaga yang berkesimpulan bahwa adanya peran ganda perempuan dalam keluarga terkait culture of law keluarga dan masyarakat.[3]

Ayah bagaikan gunung yang tinggi, sedangkan ibu bagaikan lautan yang luas, di dalam pendidikan keluarga mereka berdua memiliki keunggulan masing-masing. Kedua potrensi yang ada dalam orang tua harus dimaksimalkan. Makalah singkat ini akan beripaya membahas peran ayah (laki-laki) dalam pendidikan keluarga. Sebelum membahas lebih jauh tentang peran laki-laki dalam pendidikan, akan dibahas pendidikan keluarga.

Pendidikan Keluarga 

Pendidikan dalam arti luas mencakup seluruh proses hidup dan segenap bentuk interaksi individu dengan lingkungannya, baik secara formal, non formal maupun informal, sampai dengan suatu taraf kedewasaan tertentu.  Adapun dalam konteks Islam ada istilah long life education. Dalam pandangan ilmuan antara lain:

1.      LANGEVELD : setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak tersebut atau membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugasnya sendiri

2.      JOHN DEWEY : proses pembentukan kecakapan2 fundmental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia

3.       J.J. ROUSSEAU : memberi kita perbekalan yang tidak ada pada masa kanak-kanak, akan tetapi kita membutuhkannya pada waktu dewasa

4.       DRIYARKARA : pemanusiaan manusia muda atau pengangkatan manusia muda ke taraf insani

5.      KI HAJAR DEWANTARA : menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya

6.      UNDANG2 NO. 20 TAHUN 2003

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Sungguh mulia tujuan pendidikan itu. Namun, dengan banyaknya peristiwa dan kekurangan yang ada dalam dunia pendidikan, menuntut di antara masyarakat untuk membuat trobosan, antara lain dengan membuat pendidikan alternative.  Berbagai program pendidikan yang dilakukan dengan cara berbeda dari cara tradisional. Secara umum pendidikan alternatif memiliki persamaan, yaitu: pendekatannya bersifat individual,  memberi perhatian besar kepada peserta didik, orang tua/keluarga, dan pendidik serta dikembangkan berdasarkan minat dan pengalaman.

Menurut Jery Mintz, [4] Pendidikan alternatif dapat dikategorikan dalam empat bentuk pengorganisasian, yaitu:

1.      Sekolah public pilihan (public choice);

2.      Sekolah/lembaga pendidikan publik untuk siswa bermasalah (student at risk);

3.      Sekolah/lembaga pendidikan swasta/independent dan

4.      Pendidikan di rumah (home-based schooling).

Pendidikan di Rumah (Home Schooling) dengan Peran Ayah yang lebih/Meningkat

Termasuk dalam kategori ini adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh keluarga sendiri terhadap anggota keluarganya yang masih dalam usia sekolah. Pendidikan ini diselenggarakan sendiri oleh orangtua/keluarga dengan berbagai pertimbangan, seperti: menjaga anak-anak dari kontaminasi aliran atau falsafah hidup yang bertentangan dengan tradisi keluarga (misalnya pendidikan yang diberikan keluarga yang menganut fundalisme agama atau kepercayaan tertentu); menjaga anak-anak agar selamat/aman dari pengaruh negatif lingkungan; menyelamatkan anak-anak secara fisik maupun mental dari kelompok sebayanya; menghemat biaya pendidikan; dan berbagai alasan lainnya

Ingat, waktu kita hanya sedikit, anak tidak selamanya anak-anak, anak-anak terus berkembang menjadi  remaja dan dewasa. Pada akhirnya, jangan sampai ketinggalan moment penting  bersama anak. [5] Masa kecil anak, ibu harus bertanggung jawab lebih banyak, karena saat itu anak membutuhkan asuhan yang cermat dari ibu. Posisi kodrati ibu yang harus menyusui tidak bisa digantikan, namun jika ayah sejak dini berpartisipasi dalam kebersamaan menjaga buah hatinya, misalnya menemani ketika malam hari dan bersenda gurau. [6] Setelah anak itu tumbuh besar, ayah harus memberi didikan yang lebih banyak.

Pada kenyataannya telah terbukti, bahwa masalah kecil dalam keseharian seorang anak acapkali menggantungkan ibunya. Tetapi di saat kritis dalam kehidupan, saat menghadapi masalah yang lebih besar, mereka akan menggantungkan pada ayahnya. Tidak peduli bagaimana pun juga, dalam masalah mendidik anak sebagai seorang ayah tidak boleh sama sekali melepas tanggung jawab dan tidak mau ikut mengurus, tanggung jawab ini harus diemban. Pendidikan keluarga telah menghimbau kaum pria untuk turut mendidik, dan sebagai seorang ayah harus mengemban tanggung jawab untuk mendidik anak-anaknya.

Jangan melimpahkan tanggungjawab anak kepada isteri saja atau bahkan pembantu. Sebagai seorang ayah, mencampakkan tanggung jawab untuk mendidik anak-anaknya merupakan suatu kesalahan yang sangat besar. Anak-anak yang menerima pendidikan dari kaum perempuan (ibu-ibu) dewasa ini sudah cukup banyak. Bukankah di TK, SD dan SMA guru perempuan lebih banyak?

Sebuah kasus: ada seorang anak lelaki yang nyalinya sangat kecil, di dalam kelas dia tidak berani mengacungkan tangan untuk menjawab pertanyaan, walaupun menjawab suaranya pun kecil bagaikan suara nyamuk. Rapor pelajarannya selalu tidak bisa meningkat ke atas. Penelitian dan penyelidikan terhadap atas anak tersebut dilakukan.  Hasilnya adalah  anak tersebut waktu di rumah selalu mengikuti ibunya, dan ibunya  ternyata bernyali sangat kecil, selalu takut anaknya terluka, maka dari itu dia selalu melindungi dan memborong semua pekerjaan, oleh sebab itu anaknya berwatak introvert (tertutup) dan bernyali kecil. Rekomendasi yang dilakukan adalah agar si ayah lebih banyak melakukan komunikasi dengan anaknya, dan pendidikan di dalam rumah dari ayah. Akhirnya, sang ayah mengajak si anak untuk pergi mendaki gunung, mendayung perahu, jiwa yang tak mengenal bahaya dan kesulitan serta besar dan lapang ini telah memberi pengaruh kepada watak dari anak itu. Akhirnya, nyali dari anak kian hari kian besar, di dalam kelas penuh dengan semangat mengacungkan tangan menjawab pertanyaan, rapor pelajarannya pun meningkat ke atas.

Adapun fungsi dan peranan pendidikan keluarga[7] adalah:

  1. Pengalaman pertama masa kanak-kanak
  2. Menjamin kehidupan emosional anak
  3. Menanamkan dasar pendidikan moral
  4. Memberikan dasar pendidikan sosial
  5. Peletakan dasar-dasar agama

Dari  sisi ajaran agama, dalam Q.S. al-Tahrim (66) 6, dalam penafsiran al-Sa’di[8] diungkap bahwa: “Tidak akan selamat seorang hamba kecuali jika ia telah menunaikan perintah Allah terhadap dirinya dan terhadap siapa saja yang dibawah tanggung jawabnya dari para istri dan putra-putrinya, serta yang lainnya yang dibawah kewenangan dan pengaturannya. Tentunya, tangungjawab di dalam berkeluarga adalah berdua, ayah dan ibu (laki-laki dan perempuan). Tentunya, lima hal di atas dapat dijadikan indikator dalam kesuksesan mengantarkan penddiikan anak-anaknya di lingkungan keluarga.

Simpulan

Laki-laki harus berperan dalam mendidik di lingkungan keluarga. Sebaiknya pendidikan sudah dimulai dari sebelum anak lahir. Ayah perlu meluangkan waktu yang cukup ke anak agar kuantitas komuniakasi dan pembentukan karakter kepribadian anak baik. Anak, tidak selamanya anak, dia akan tumbuh menjadi sosoknya sendiri. Berbegang dari kasus yang ada, wahai ayah, kaum laki-laki luangkan waktumu untuk mendidik anak-anakmu.

 

Bahan Bacaan

Adhim, Muhammad Fauzil.  Saat Berbahagia untuk Anak Kita Yogyakarta. Pro-U Media, 2011.

F Rene Van de Carr dan Marc Lehrer, While You’ re Expecting …. You Own Prenatal Classroom. Atlanta: Humanics Trade, 1997.

Jerry Mintz, Raymond Solomon, The handbook of alternative education, Macmillan Pub. Co., 1994..

Najwah, Nurun. “Double Burden dalam Keluarga Dosen Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga” dalam Muhammad Sodik (ed.), Dilema Perempuan dalam Lintas Agama dan Budaya. Yogyakarta: PSW, 2005.

Sa’di, Tafsir al-Sa’di atau Tafsir al-Karim al-Rahman. Beirut: Mu’assasah al-Risalah, t.th.

Solikhah,  Mar’atus. Pola Pembagian Kerja Pria-Wanita Dalam Keluarga Modern (Studi tentang Fenomena Peran Pria-Wanita pada Lingkungan Industri Kertas di Masyarakat Padi Kecamatan Turen Kabupaten Malang) dalam http://student-research.umm.ac.id/index.php/department_of_sociology/article/view/7040.

Ulfah Anshar, Maria dan Mukhtar al-Shodiq,  Pendidikan dan Pengasuhan Anak dalam Perspektif Jender Bandung: Mizan, 2005.

Widaningsih,  Lilis. Relasi Gender Dalam Keluarga: Internalisasi Nilai-Nilai Kesetaraan Dalam Memperkuat Fungsi Keluarg dalam http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._TEKNIK_ARSITEKTUR/197110221998022-LILIS_WIDANINGSIH/Relasi_Gender-Lilis.pdf


*Disampaikan dalam Talkshow: Peran Laki-laki dalam Mendukung Gerakan Perempuan Indonesia, tanggal 28 April 2011 di Omahstovia Café kerjasama antara SAPA dan HMI Cabang Yogyakarta.

*Dosen Hadis Fak. Ushuluddin Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, PSW UIN Sunan Kalijaga, E-Mail dan FB: alfatihsuryadilaga@yahoo.com atau suryadilaga.mf@gmail.com Blog: suryadilaga.wordpress.com

[1]Lilis Widaningsih,  Relasi Gender Dalam Keluarga: Internalisasi Nilai-Nilai Kesetaraan Dalam Memperkuat Fungsi Keluarga, http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._TEKNIK_ARSITEKTUR/197110221998022-LILIS_WIDANINGSIH/Relasi_Gender-Lilis.pdf

[2]F Rene Van de Carr dan Marc Lehrer, While You’ re Expecting …. You Own Prenatal Classroom (Atlanta: Humanics Trade, 1997).

[3]Nurun Najwah, “Double Burden dalam Keluarga Dosen Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga” dalam Muhammad Sodik (ed.), Dilema Perempuan dalam Lintas Agama dan Budaya  (Yogyakarta: PSW, 2005), 1-40. Pola tersebut akan bergeser di masyarakat industri., seperti dalam penelitian Mar’atus Solikhah, Pola Pembagian Kerja Pria-Wanita Dalam Keluarga Modern (Studi tentang Fenomena Peran Pria-Wanita pada Lingkungan Industri Kertas di Masyarakat Padi Kecamatan Turen Kabupaten Malang) dalam http://student-research.umm.ac.id/index.php/department_of_sociology/article/view/7040.

[4]Jerry Mintz, Raymond Solomon, The handbook of alternative education, Macmillan Pub. Co., 1994..

[5] Muhammad Fauzil Adhim, Saat Berbahagia untuk Anak Kita (Yogyakarta. Pro-U Media, 2011), 11.

[6]Dicontohkan oleh Nabi saw. sering  bermain kuda-kudaan dengan cucu beliau Hasan dan Husein atau menggendong cucunya, Umamah ibn Abi al-Ash  ketika shalat dan masih banyak cerita lain interaksi Nabi saw. dengan anak-anak. .21.

[7]Disarikan dari berbagai buku antara lain, Maria Ulfah Anshar dan Mukhtar al-Shodiq,  Pendidikan dan Pengasuhan Anak dalam Perspektif Jender (Bandung: Mizan, 2005),  21-35.

[8]Al-Sa’di, Tafsir al-Sa’di atau Tafsir al-Karim al-Rahman (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, t.th.).

FORMAT PENELITIAN HADIS-HADIS “MISOGINIS”

I. PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini kajian keislaman semakin menarik dan banyak bermunculan seiring dengan kehadiran wacana gender dalam studi Islam. Diskursus tersebut merupakan suatu keharusan karena merupakan tuntutan kemanusiaan atas berbagai kebutuhan kehidupan keseharian-nya. Dalam masalah keagamaan hal yang demikian untuk dapat lebih membumikan pesan-pesan yang ada di dalam dasar idealnya (al-Qur’an dan hadis). Perbedaan gender bukan merupakan suatu masalah yang serius manakala tidak menimbulkan berbagai persoalan seperti ke-senjangan keadilan. Namun, pada kenyataannya adanya perbedaan gender acapkali menyebabkan adanya persoalan ketidakadilan baik di pihak laki-laki sendiri dan bahkan juga kebanyakan terjadi terhadap perempuan.

Dalam hal ini, gender merupakan sebuah persoalan sosial budaya yang tentunya tidak semua orang mampu dengan jernih memahami adanya ketidakadilan gender. Persoalan tersebut akan semakin rumit manakala terkait erat dengan doktrin ajaran agama. Untuk memahami sejauh mana ada tidaknya kesenjangan gender, menurut Mansour Fakih[1] paling tidak dapat dilihat dalam bidang: Marginalisasi perempuan, Subordinasi, Streotipe, Kekerasan dan Beban kerja yang berlebihan.

Piranti-piranti dalam melihat adanya ketidakadilan gender di atas dijadikan pedoman dalam menelaah teks-teks ajaran agama. Tujuan tidak lain adalah untuk kemaslahatan umat manusia atau dalam bahasa al-Syatibi adalah li masalih al-ibad fi daraini.[2] yang dapat terwujud manakala dipenuinya kebutuhan daruri manusia yakni menjaga agama, harta, keturunan, jiwa dan akal. Paradigma tersebut saat ini perlu penyempurnaan karena banyak problem kehidupan kemanusiaan yang lebih urgen termasuk adalah ketidakadilan gender. Persamaan (equality), keadilan, HAM dan menjaga lingkungan hidup sekarang ini merupakan suatu yang qat’i yang harus terwujud bagi kemanusiaan. Adapun sarana untuk mencapai hal tersebut dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat.

Dalam berbagai literatur diungkap tentang bagaimana Islam mengentaskan berbagai ketidakadilan terutama jika dikaitkan dengan persoalan kaum perempuan dari penindasan. Adanya pembatasan poligami dan berbagai ajaran Islam lainnya pada masa lalu merupakan suatu hal yang luar biasa dilakukan oleh Islam yang membedakan dengan agama lainnya.[3] Berbagai ajaran tersebut sukses dapat diakses oleh umat Islam berkat adanya penjelasan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Dari sini dapat dinyatakan bahwa Rasulullah saw. merupakan mubayyin atas apa yang terdapat dalam al-Qur’an(expounder of the Qur’an). [4]

Sudah menjadi kesepakatan bahwa hadis merupakan sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an. Peranan hadis adalah sangat besar sekali, karena sebagai penjelas atas hal-hal yang terkandung dalam al-Qur’an dan bahkan lebih dari itu dapat menjadi rujukan utama manakala di dalam al-Qur’an tidak ada ketentuannya. [5] Kajian atas hadis Nabi Muhammad saw. dirasa masih ketinggalan dibandingkan dengan kajian dalam al-Qur’an. Padahal, realitas masyarakat Islam telah berubah dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat sehingga memungkinkan adanya pemahaman yang baru dan lebih membumi.

Tulisan ini akan membahas tentang format penelitian hadis-hadis misoginis. Kajian dilakukan sebagaimana penelitian hadis yang ada dengan memberikan nuansa gender maintreaming berikut langkah-langkah yang dilakukan dan contoh-contohnya.

II. ARTI PENTING PENELITIAN HADIS

Sejarah panjang penghimpunan (pentadwinan) hadis bukan merupakan suatu pelalaian terhadap hadis. [6] Keberadaan hadis telah didudukkan oleh sahabat dengan baik. Mereka dengan sangat hati-hati dalam mengambilnya dalam menetapkan hujjah.[7] Namun, niat baik tersebut tidaklah disambut baik oleh mereka yang ingin merusak Islam dan mereka yang berusaha menjustifikasi dan melegitimasi pemikirannya.[8] Oleh karena itu, muncullah berbagai upaya pemalsuan hadis dan inkar al-sunnah. Fenomena inkar al-sunnah ada di setiap zamannya dengan bentuk yang berbeda-beda. Mereka ini merasa cukup dengan al-Qur’an saja.

Berbagai penjelasan Rasulullah saw. atas al-Qur’an dan berbagai persoalan kehidupan umat Islam lain yang tidak diakomodir oleh al-Qur’an, maka dimuat dalam hadis dan atau sunnah[9] yang sangat berperan dalam kehidupan umat Islam awal. Pijakan umat pada generasi sesudah Rasulullah saw. adalah terletak pada pengganti Rasulullah saw. Keberadaan hadis terus dijaga oleh sahabat dan generasi sesudahnya.

Seiring dengan luasnya kekuasaan Islam sunnah akhirnya meluas ke berbagai daerah dan disepakati. Oleh karena itu, hadis berkembang luas dan ia ada merupakan suatu fakta yang tidak terelakkan dalam sejarah. Mereka ini sangat hafal terhadap apa yang didengar dan dilihat dari anutan mereka. Melalui fenomena ini Fazlur Rahman menganggap berdosa secara historis.[10] Namun, kontroversi yang muncul adalah kapan hadis dibukukan? Ini merupakan perdebatan yang sengit di kalangan orientalis dan pemikir Islam. Dari sisi kesejarahan inilah memunculan pentingnya penelitian hadis.

Sampai di sini, sunnah sudah menjadi opini publik sampai pada abad ke-2 H. sunnah sudah disepakati oleh kebanyakan ulama dan dipresenstasikan sebagai hadis. Hadis adalah verbalisasi sunnah. Oleh karena itu, Fazlur Rahman menganggap upaya reduksi sunnah ke hadis ini telah memasung kreativitas sunnah dan menjerat ulama Islam dalam memasang rumusan yang kaku.

Fazlur Rahman lebih jauh mengungkap kekakuan dalam hal ini membuat mereka akan terjerembab pada vonis yang tidak sedap, yaitu inkar al-sunnah. Inilah yang membedakan dengan kajian terhadap al-Qur’an. Penafsiran seseorang terhadap al-Qur’an bagaimanapun keadaannya baik liberal maupun sangat liberal tidaklah dianggap sebagai sebuah penyelewengan sehingga dijuluki sebagai seorang yang ingkar al-Qur’an.

Kaum muslimin sepakat menerima sunnah dan menisbatkannya kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian sunnah tersebut diformulasikan dalam bentuk verbal dan kemudian disebut dengan istilah hadis. Dari sini jelas, bahwa sunnah merupakan proses kreatif yang terjadi terus menerus sedangkan hadis adalah pembakuan secara kaku.

Berbeda dengan pemikiran Fazlur Rahman, Jalaluddin Rakhmat dalam sebuah artikel yang berjudul “Dari Sunnah ke Hadis atau sebaliknya?” dimuat dalam buku Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995) mengemukakan sebaliknya. Ia tidak setuju tentang yang pertama kali beredar di kalangan kaum muslimin adalah sunnah. Baginya, yang pertama kali adalah hadis. Tesis ini dibuktikan dengan data historis di mana ada sahabat yang menghafal dan menulis ucapan Nabi Muhammad saw.[11] Dus, sejak awal, hadis memang sudah ada.

Hadis sudah terbukukan dalam berbagai kitab hadis[12] yang jumlahnya banyak dengan ragam metode penulisannya.[13] Dengan berbagai trend besar di dalamnya. Tentu saja, kitab-kitab yang beredar di masyarakat tersebut tidak semuanya bernilai sahih. Masih banyak hadis-hadis yang populer di masyarakat ternyata jika diteliti secara mendalam maka kualitasnya lemah (da’if). Kenyataan tersebut belum menyentuh pada persolan esensial dari sebuah hadis. Karena diskursus penelitian hadis (tahqiq al-hadis) hanya berkutat pada persoalan keabsahan suatu hadis dilihat dari anasirnya. Inilah yang banyak dilakukan ulama terdahulu dan acapkali masih sering dilakukan oleh para pakar sampai saat ini karena tidak samanya paradigma yang digunakan oleh ulama dalam menentukan kualitas hadis.

III. HADIS-HADIS “MISOGINIS”

Istilah hadis sebagaimana diketahui adalah sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah saw. baik ucapan, perbuatan maupun taqrir. Istilah hadis kemudian dikaitkan dengan istilah misoginis.

Istilah “misoginis” yang membenci perempuan masih menimbulkan banyak perdebatan panjang. Fungsi Rasulullah saw. diutus Allah adalah tidak lain mengangkat harkat dan martabat manusia termasuk kaum perempuan. Banyak contoh yang dilakukan Rasulullah saw. dalam konteks semacam hal itu seperti pembatasan perkawinan, perbudakan dan sebagainya. Adanya teks-teks hadis yang “misoginis” merupakan respon atas masyarakat pada saat itu yang berbudaya patriarkhi dan menindas perempuan. Bukankan perempuan pada masa Jahiliyah tidak dihargai sama sekali. Kelahiran anak perempuan merupakan aib dan oleh sebab itu di antara mereka ada yang mengkubur hidup-hidup perempuan dengan harapan tidak menanggung beban malu. Seiring dengan fajar Islam yang ditandai dengan dengan diutusnya Rasulullah saw. secara pelan-pelan bentuk penindasan atas perempuan dihilangkan.

Oleh karena itu, untuk menjembatani adanya yang pro dan kontra maka penulisan istilah misoginis di sini ditulis dalam tanda kutip. Secara luas, kajian atas hadis-hadis “misoginis” perlu dikembangkan untuk memperlihatkan wajah Islam yang sesungguhnya.

IV. FORMAT PENELITIAN DAN RAMBU-RAMBUNYA

A. Penentuan masalah dan topik persoalan yang akan dibahas

Setiap penelitian tentunya didahului adanya suatu permasalahan yakni adanya kesenjangan antara das sein dan das sollen. Mencari persoalan ketidakadilan gender bukan merupakan suatu persoalan yang mudah. Ada tidaknya jiwa sensitivitas gender dalam kehidupan seseorang tergantung dirinya sendiri. Banyak orang di pedesaan yang tidak mau tahu tentang persoalannya padahal kebayakan hak-dan kewajibannya sering terabaikan. Masalah kesenjangan pendidikan dan perekonomian merupakan dua buah persoalan mendasar dalam rangka untuk menumbuhkan ketidakadilan gender.

Kenyataan tersebut dibuktikan dalam penelitian baik di Indonesia maupun di negara lain seperti Mesir tentang tradisi khitan perempuan. Tradisi tersebut tidak banyak ditemukan di daerah perkotaan yang nota bene kebanyakan penduduknya telah mengalami pendidikan yang tinggi.

1. Penggalian Data

Data yang berupa hadis yang akan dikaji dapat diperoleh melalui penelusuran hadis lewat metode takhrij al-hadis. Inti dari usaha ini adalah mecari hadis-hadis yang akan diteliti dan keberadaannya dalam beberapa kitab hadis yang diinginkan untuk diteliti. Metode ini dapat dilakukan melalui lima cara, yaitu:

a) Periwayat di tingkat sahabat. Kitab yang digunakan adalah seperti kitab Musnad Ahmad ibn Hanbal dan sebagainya. Pencarian dengan metode semacam ini jarang dilakukan karena sulit untuk mendapatkan hadis dengan cepat dan mudah.

b) Kata-kata tertentu dalam Hadis. kitab yang biasa digunakan adalam Mu’jam Mufahras li Alfaz al-Hadis al-Nabawi karya Dr. Arnold John Wensinck (w. 1939 m.). Kitab ini Terdiri atas tujuh juz: I 1936 M., II 1943 M., III 1955 M., IV 1962 M., V 1965 M., VI 1967 dan VII 1969 M.

Cara mencai hadis: berdasar matan hadis, baik awal atau pertengahannya bahkan bagian-bagian lainnya dari hadis. kamus ini berisi sembilan kitab hadis: Sahih al-Bukhari, sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmizi, Sunan Ibn Majah, Sunan al-Nasai, Sunan al-Darimi, Muwatta Imam Malik dan Musnad Ahmad ibn Hanbal. Catatan yang patut diperhatikan:

(1) Semua angka sesudah nama kitab (dalam arti bagian) atau bab pada Sahih al-Bukhari, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasai, Sunan Ibn Majah dan Sunan al-arimi menunjuk angka bab, bukan nomor urut hadis. (2) Semua angka sesudah nama kitab (dalam arti bagian) atau bab Sahih Muslim dan Muwatta Malik menunjuk angka urut hadis, bukan angka urut bab. (3) pada Musnad Ahmad terdapat dua angka yang lebih besar dari angka biasa berarti juz sedangkan angka biasa menunjukkan halaman dan (4) lambang bintang ** memberikan penjelasan bahwa hadis tersebut tercantum lebih dari satu kali hadis.

c) Tema tertentudari dari suatu hadis. Kitab yang dipakai adalah Miftah Kunuz Al-Sunnah atau A Handbook Of Early Muhammadan yang diterbitkan tahun 1927 dalam edisi bahasa Inggris dan tahun 1934 M. dalam edisi bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abd al-Baqi.

Dikemukakan beberapa topik baik berdasar petunjuk Nabi Muhammad saw. maupun yang berkaitan dengan nama. Untuk setiap topik biasanya diikuti sub topik yang didalamnya dijelaskan hadis-hadis dan kitab yang menjelaskannya.

Terdiri atas 14 kitab hadis dengan tambahan lima kitab: sembilan kitab dalam Mujam Mufahras dengan tambahan Musnad al-Tayalisi, Musnad Zaid ibn Ali, Sirah Ibn Hisyam Magazi al-Waqidi dan Tabaqat ibn Saad.

أول = juz pertama

ب = bab

بخ = Sahih Bukhari

بد = Sunan Abu Dawud

تر = Sunan al-Tirmizi

ثالث = juz ketiga

ثان = juz kedua

ج = juz

حم = Musnad Ahmad

خامس = juz kelima

رابع = juz keempat

ز = Musnad Zaid ibn Ali

سادس = juz keenam

ص = halaman

ط = Musnad al-Tayalisi

عد = Tabaqat ibn Saad

ق = bagian kitab

قا = konfirmasi data sebe-

lumnya dengan data sesudahnya

قد = Magazi al-Waqidi

ك = kitab (bagian)

ما = Muwatta Malik

مج = Sunan Ibn Majah

مس = Sahih Muslim

م م م = hadis terulang beberapa kali

مى = Sunan al-Darimi

نس = Sunan al-Nasai

هش = Sirah ibn Hisyam

d) Awal dari matan suatu hadis. Kitab yang digunakan adalah al-Jami al-Sagir Karya Al-Suyuti W 911 H./1505 M. Berdasar Awal Abjad Dari Awal Matan Hadis. Di dalamnya dijelaskan periwayat pertama di tingkat sahabat, dan nama mukharrijnya. Di samping itu, disertai pula dengan penilaian hadis yang dilakukan ulama atau yang disetujui oleh al-Suyuti, namun di kalangan ulama hadis al-Suyuti dianggap ulama yang tasahul dan masih perlu penelitian kembali. Dan di dalamnya tidak dijelaskan letaknya hadis di mana juz atau bagian mana. Oleh karena itu, harus dilengkapi kamus lain.

Lambang yang menunjukkan mukharrij hadis

عم = Zawaid Ahmad oleh Abdullah

فر = al-Ailami: al-firdaus, masur al-khitab al-mukharrij ala kitab al-syihab

ق = Bukhari Muslim (muttafaq alaih)

قط = Sunan al-Daruqutni

ك = Mustadrak al-Hakim

م = Sahih Muslim

ن = Sunan al-Nasai

ه = Sunan Ibn Majah

هب = al-Baihaqi: Syuab al-Iman

هق = Sunan al-Baihaqi

3 = diriwayatkan tiga orang oleh Dawud, Turmuzi dan Nasai dalam kitab sunannya

ع = diriwayatkan oleh empat orang yakni Dawud, Turmuzi, Ibn Majah dan Nasai dalam kitab sunannya

ت = Sunan al-Tirmizi

تخ = al-Tarikh al-Bukhari

حب = Sahih ibn Hibban

حل = Hilyatul Auliya

حم = Musnad Ahmad ibn Hanbal

خ = Sahih al-Bukahri

خد = al-Adab al-Bukhari

خط = Tarikh al-Bagdadi

د = Sunan Abu Dawud

ش = Riwayat Abu Syaibah

ص = al-Sunan Saad ibn Mansur

طب = al-Mujam al-Kabir al-Tabrani

طس = al-Mujam al-Wasit al-Tabrani

ع = Musnad Abi Yala

عب = al-Jami A. Raziq ibn Hammam

عد = al-Kamil fi al-Duafa

عق = al-Uqaili dalam al-Duafa

e). Ciri-ciri tertentu dalam suatu hadis. misalnya hadis-hadis qudsi dalam kitab al-ahadis al-qusdiyah dan sebagainya

Untuk mendapatkan hadis selain lima cara di atas dapat juga dilakukan melalui CD ROM Maktabah Alfiyah li al-Sunnah al-Nabawiyah dan Mawsuat al-Hadis al-Syarif. Melalui cara ini didapatkan hadis secara mudah berikut tentang langkah-langkah penelitian yang lainnya dalam meneliti sanad dan matan.

Upaya di atas adalah untuk memudahkan dalam i’tibar sanad. Dengan penyertaan banyak rangkaian sanad dalam tiap hadisnya diharapkan dapat dilihat nilai suatu hadis dari sisi kuantitas periwayatnya. Dari sini muncul istilah mutawatir dan ahad baik dalam lingkup masyhur, aziz dan garib.

2. Penelitian Sanad dan Matan Hadis: sebagai langkah awal

Kriteria hadis sahih adalah dari segi sanad dan matannya. Kriteria dalam penelitian sanad berbeda dengan penelitian matan. Kriteria penelitian sanad adalah lima hal yakni bersambung sanandnya, adil, dapat dipercaya dan terhindar dari syaz dan illat.

Langkah-langkah yang harus ditempuh antara lain:

a. Menyebutkan nama periwayat secara lengkap

b. Kuniyah dan laqabnya

c. Guru dan muridnya (روى عن -عنه)

d. Pendapat ulama tentang al-jarh wa ta’dil

e. Kerismpulan

Adapun kitab-kitab yang diperlukan dalam meneliti sanad antara lain:

a. Ibn Asir, Usud al-Gabah fi Marifat al-Sahabah

b. Al-Asqalani, Tahzib al-Tahzib

c. Al-Zahabi, Mizan al-Itidal

d. Al-Zahabi, Siyar Alam wa al-Nubala

e. Al-Razi, al-Jarh wa al-Tadil

f. Al-Bundari, Mawsuat fi Rijal al-Kutub al-Sttah

g. dan sebagainya.

Dari pembahasan segi sanad di atas dapat diperoleh kesimpulan hadis tersebut sahih dan jika tidak maka diperlukan penelitian yang lebih mendalam tentang adanya syadz dan illat. Setelah diketahui status hadis dari segi periwayatnya, maka langkah selanjutnya adalah penelitian matan hadis. penelitian ini lebih sulit dibanding dengan penelitian sanad hadis. Kesulitan tersebut disebabkan oleh adanya periwayatan secara makna, acuan yang digunakan tidak satu macam, zdanya kandungan hadis yang bersifat suprarasional dan masih langkanya kitab-kitab hadis yang membahas penelitian matan.

Hal yang patut diperhatikan adalah meneliti matan adalah dengan kualitas sanadnya maksudnya adalah meneliti matan sesudah sanad, setiap matan harus bersanad dan kualitas matan tidak harus sejalan dengan kualitas sanad. Adapun unsur-unsurnya adalah tidak ada syuzuz dan illat. Dalam menjabarkan dua kriteria tersebut ulama berbeda-beda pandangan. Seperti yang diungkap oleh al-Khatib al-Bagdadi: (1) Tidak bertentangan dengan akal sehat, (2)Tidak bertentangan dengan hukum al-Quran, (3) Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir, (4) Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan, (5) Tidak bertentangan dengan dalil yang pasti, (6) Tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitasnya lebih kuat.

Sedangkan Salah al-Din al-Idlibi menunjuk kriteria: (1) Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Quran, (2) Tidak bertentangan dengan hadis yang kuat, (3) Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah, (4) Susunan pernyataannya menunjukkan cii-ciri sabda kenabian.

Cara meneliti matan adalah sebagai berikut:

1). MENELITI SUSUNAN REDAKSI MATAN YANG SEMAKNA

Terjadinya perbedaan lafal: periwayatan secara makna ditolelir jika tidak terjadi perbedaan makna. Akibat terjadinya perbedaan lafal: penelitian lebih intens (perbandingan matan)

Ziyadah (tambahan lafal atau kalimat oleh periwayat tertentu sedang periwayat lain tidak); macam-macam: Ziyadah periwayat siqat, bertentangan dengan kebanyakan periwayat siqat, Ziyadah periwayat siqat, tidak bertentangan (ditolak), Ziyadah periwayat siqat terhadap lafal tertentu, periwayat siqat lainnya tidak

Idraj: memasukkan pernyataan yang berasal dari periwayat ke dalam suatu matan hadis yang diriwayatkan sehingga mengesankan sebagai pernyataan Nabi Muhammad saw. dan tidak ada penjelasan.

2) MENELITI KANDUNGAN MATAN

Membandingkan kandungan matan yang sejalan: penting takhrij bi al-mawdu dan

Membandingkan kandungan matan yang tidak sejalan (ikhtilaf al-hadis). jika terjadi yang demikian maka dilakukan penyelesaian dengan cara:

a. Al-Qarafi (w. 684 H.): al-tarjih (al-nasih wa mansukh dan al-jamu)

b. Al-Tahawani: al-nasih wa mansukh dan al-Tarjih.

c. Ibn Hajar al-Asqalani: al-Jamu, al-nasih wa mansukh, al-tarjih, al-tauqif

d. Adib Salih: al-jamu, al-tarjih dan al-nasih wa mansukh

Adapun kitab-kitab yang dapat dijadikan acuan adalah:

a. Kitab-kitab syarah hadis dan Tafsir al-Quran

b. Kitab-kitab yang membahas garib al-hadis, asbab al-wurud, mukhtalif al-hadis, fiqh al-hadis, dan mustalah al-hadis.

c. Kitab sejarah Nabi Muhammad saw. dan sejarah Islam

d. Kitab-kitab ilmu kalam.

3) MENYIMPULKAN HASIL PENELITIAN MATAN

kesimpulan yang dperoleh adalah hadis tersebut maqbul (diterima) atau mardud (ditolak).

3. Pelacakan Pemahaman teks asal dan perkembangan sesudahnya

Setlah status hadis diperoleh, maka langkah selanjutnya adalah men kandungan suatu hadis yang dapat dilakukan dua cara yaitu memahami hadis berdasarkan makan asli teks tersebut dan yang kedua bagaiamana pemahaman teks tersebut dalam kesejarahannya sejak masa sahabat sampai sebelum kajian yang kita lakukan saat ini.

Langkah-langkah yang lazim digunakan dalam memahami suatu hadis adalah analisis kebahasaan. Bentuk semacam ini banyak dijumpai dalam kitab-kitab syarah hadis. Selain itu juga ditemukan upaya pemahaman melalui asbab al-wurud hadis (analisis sosio historis), sosiologis, dan antropologis.[14]

Tradisi keilmuan terus berkembang dan jika tidak demikian kehidupan manusia akan terus tertinggal. Kenyataan tersebut juga menggejala di dalam pemahaman hadis, terutama sejak adanya isu gender bergulir di IAIN dan STAIN. Gender sebagai problema sosial budaya menjadikan perlunya pemahaman ulang atas ajaran agama, termasuk atas hadis-hadis misoginis (yang membenci perempuan). Masalah ini penting untuk segera dilakukan karena dalam ajaran yang terdapat di dalam al-Qur’an banyak menekankan persamaan antara laki-laki dan perempuan baik di bidang ibadah maupun lainnya. Di samping itu, untuk menjaga citra Islam yang diturunkan melalui Rasulnya sebagai suatu yang rahmat bagi seluruh alam.

Cara mendapatkan pemahaman hadis yang utuh dan komprehensif adalah dengan menganalisis yang cukup memadai atas berbagai sisi terutama bagaimana makna suatu hadis tersebut ketika diturunkan. Upaya ini perlu merujuk berbagai hadis yang setema dengan menggunakan Miftah Kunuz al-Sunnah atau melalui CD Maktabah Alfiyah li al-Sunnah al-Nabawiyah, perkembangan pemahaman suatu hadis oleh generasi sesudahnya baik sahabat maupun ulama lainnya dan baru melaksanakan kontekstualisasi. Upaya tersebut dapat dilaksanakan jika status suatu hadis yang akan dikaji tersebut sudah jelas sahihnya. Jika tidak maka diperlukan alternatif mencari hadis lain yang lebih kuat.

Prinsip yang harus dipegangi dalam rangka melaksanakan kontekstualisasi hadis adalah: prinsip ideologi, perinsip otoritas, prinsip klasifikasi, dan prinsip regulasi terbatas[15]

Secara garis besar panduan analisis teks/matan hadis adalah:

A. Makna Asal Suatu Matan

Prinsip : Biarkan hadis berbicara dengan sendirinya

Metode : Analisis kebahasaan: Etimologis, Leksikal dan konteks

Pendekatan : Filologi tradisional, Memahami matan hadis sesuai makna

pencipta teks

Hasil : Tekstual

B. Ragam Pendapat dalam Sketsa Historis

Prinsip : Melihat perkembangan pemahaman suatu matan hadis

Metode : Historis dan content analisis.

Pendekatan : Relegious studies

Hasil : Kontekstual sesuai zamannya

4. Kontekstualisasi pemahaman hadis yang sensitivitas gender

Pada saat ini, persoalan studi hadis tidak hanya terfokuskan pada penelitian hadis dari sisi sanad maupun matan yang berujung pada nilai kehujjahannya semata. Walaupun kajian terhadap kedua hal tersebut tetap diperlukan dalam upaya menjembatani kajian yang lebih mendalam. Kajian murni atas sanad dan matan dalam sebuah hadis guna menilai validitasnya sudah kurang relevan lagi saat ini dan akan lebih bermanfaat jika kajian yang dilakukan lebih dari itu yakni bagaimana memahami isi pesan dari suatu hadis tersebut. Upaya ini sering dikenal dengan sebutan ma’an al-hadis atau fiqh al-hadis.

C. Pengembangan/Kontekstualisasi

Prinsip : Pemahaman baru yang lebih segar dan mEmbumi

Metode : Hermeneutik ala gadamerian

Pendekatan : Relegious studies

Hasil : Produktif, Tidak repetitif dan Realis, lebih membumi

Pemahaman baru sesuai yang sifatnya temporal dan spacial

Untuk memperkaya kajian atas hadis-hadis misoginis, contoh tentang khitan perempuan dan imam sholat perempuan.


DAFTAR PUSTAKA

al-Qur’an al-Karim

Ali, Nizar. Memahami Hadis Nabi (Metode dan pendekatan). Yogyakarta: CESaD YPI al-Rahmah, 2001.

Ali, Syed Ameer. The Spirit of Islam A History of the Evolution and Ideals of Islam with A Life the Prophet. India: Idarah-i Adabiyat-I Delli, 1978.

Azra, Azyumardi. Peranan Hadis dalam Perkembangan Historiografi Awal Islam dalam al-Hikmah, Jurnal Studi-studi Islam, No. 11 Oktober-Desember 1993.

Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Hasyim, al-Husain Abd al-Majid. Us}u>l al-H}adi>s| al-Nabawiy Ulumuh wa Maqayisih. Cet. II; Mesir: Da>r al-Syuru>q, 1986.

Ilyas, Hamim. “Kontekstualisasi Hadis dalam Studi Gender dan Islam” dalam Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk., Rekonstrulsi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam. Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, McGill-ICIHEP dan Pustaka Pelajar, 2002.

‘Itr, Nur al-Din. Manhaj al-Naqd fi ‘Ulu>m al-H}adi>s|. Cet. III; Beirut: Da>r al-Fikr, 1992.

Rahman, Fazlur. Islamic Methodology in History. Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965.

Rakhmat, Jalaluddin. “Dari Sunnah ke Hadis atau Sebaliknya?” dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Cet. II; Jakarta: Paramadinah, 1995.

al-Syatibi, Abu Ishaq. al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah. Jilid II. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.

Suryadilaga, M. Alfatih (ed.). Studi Kitab Hadis . Yogyakarta: TH Press dan Teras, 2003.

———Klasifikasi Kitab-kitab Hadis dalam Sejarah Perkembangan Hadis, Jurnal Esensia Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. 3, No. 2, Juli 2002.


aDisampaikan dalam Workshop Metodologi Penelitian Berperspektif Gender pada tanggal 14 Desember 2003 di Hotel Ardi Kencana Baturaden Purwokerto yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto bekerjasama dengan Ditjend Bagais Departemen Agama RI.

bDosen Jurusan TH Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Direktur Lembaga Studi al-Qur’an (eLSAQ), sekretaris penyunting Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis, sedang menyelesaikan disertasi di PPS IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

[1]Lihat Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 12-24.

[2]Lihat Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, jilid II (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th), 3-5.

[3]Lihat Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam A History of the Evolution and Ideals of Islam with A Life the Prophet (India: Idarah-i Adabiyat-I Delli, 1978), bagian V, Status Women in Islam, 222.

[4]Lihat Q.S. al-Nahl (16): 44.

[5]Fungsi tersebut dijelaskan dengan bahasa lain dengan nama bayan mutabiq, bayan mulazim dan bayan tadamun. Lihad Abdul Muin Salim, Beberapa Aspek Metodologi Tafsir al-Qur’an (Ujung Pandang: LSKI, 1990), h. 49-53. bandingkan dengan Mustafa al-Siba’iy, al-Sunnah wa Maka>natuha fi> al-Tasyri>’ al-Isla>miy (Beirut: al-Maktabah al-Isla>miy, 1978), h. 379-381.

[6]Hadis Nabi Muhammad saw. baru dihimpun sejak masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz. Kendati demikian, di kalangan sahabat nabi, terdapat sahabat yang menulis hadis secara individual. Mereka itu di antaranya terkenal dengan sahifah al-sadiqah yang ditulis oleh Amr ibn Ash. Lihat Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulu>m al-H}adi>s| (Cet. III; Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 39-48 M.M. Azami, Studies in Early Hadith Literature diterjemahkan dengan judul Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya oleh Ali Mustafa Ya’qub (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), 106-122. al-Husain Abd al-Majid Hasyim, Us}u>l al-H}adi>s| al-Nabawiy Ulumuh wa Maqayisih (Cet. II; Mesir: Da>r al-Syuru>q, 1986), 13-22.

[7]Para sahabat nabi sangat selektif di dalam menerima suatu hadis di dalam memutuskan suatu hukum. Mereka harus menyertakan saksi-saksi yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda demikian. Lihat Ibid., 51-52.

[8]Terhadap asal-usul adanya hadis maudu’ dan penyebab-penyebabnya Lihat Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Us}u>l al-H}adi>s| ‘Ulu>muh wa Mus}t}alahuh (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 45-428.

[9]Pengertian dan penjelasan tentang berbagai istilah yang terkait dengan hadis lihat seperti Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulu>m al-H}adi>s| (Cet. III; Beirut: Da>r al-Fikr, 1992), dan al-Husain Abd al-Majid Hasyim, Us}u>l al-H}adi>s| al-Nabawiy Ulumuh wa Maqayisih (Cet. II; Mesir: Da>r al-Syuru>q, 1986).

[10]Lihat Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965), 32, dan Azyumardi Azra, Peranan Hadis dalam Perkembangan Historiografi Awal Islam dalam al-Hikmah, Jurnal Studi-studi Islam, No. 11 Oktober-Desember 1993, 37

[11]Lihat Jalaluddin Rakhmat, “Dari Sunnah ke Hadis atau Sebaliknya?” dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Cet. II; Jakarta: Paramadinah, 1995), 230.

[12]Dalam sejarahnya, hadis telah didudukkan oleh generasi sesudahnya dengan baik. Penjagaan dan pemeliharaan hadis terus berlangsung dari generasi ke generasi sampai terbukukannya dengan baik. Oleh karena itu, setidaknya ada dua pola dalam melihat perkembangan hadis yakni dengan melihat secara detail peristiwa-peristiwa yang mengitarinya dan melihat hasil kodifikasinya. Lihat M. Alfatih Suryadilaga, (ed.), Studi Kitab Hadis (Yogyakarta: TH Press dan Teras, 2003), x-xi.

[13]Lihat berbagai metode penulisan hadis dalam M. Alfatih Suryadilaga, Klasifikasi Kitab-kitab Hadis dalam Sejarah Perkembangan Hadis, Jurnal Esensia Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. 3, No. 2, Juli 2002, 227-231.

[14]Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi (Metode dan pendekatan) (Yogyakarta: CESaD YPI al-Rahmah, 2001), 53-112.

[15]Lihat Hamim Ilyas, “Kontekstualisasi Hadis dalam Studi Gender dan Islam” dalam Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk., Rekonstrulsi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, McGill-ICIHEP dan Pustaka Pelajar, 2002), 180-184.

MEMILIH JODOH DALAM HADIS

Islam sebagai agama samawi terakhir, diyakini sebagai agama yang universal tidak terbatas waktu dan tempat. Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa Islam datang sebagai rahmat bagi alam semesta. (QS. al-Anbiya>’ [21]: 107) Di sisi lain, ajaran Islam diyakini sebagai risa>lah yang sempurna dan dapat digunakan sebagai pedoman umat manusia. Salah satu ajaran Islam yang disepakati ulama setelah al-Qur’an adalah hadis. Oleh karena itu, hadis berperan sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an.
Salah satu masalah yang dibahas dalam sumber ajaran Islam adalah masalah perkawinan. Ajaran Islam sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. al-Nu>r (24): 32 menjelaskan anjuran untuk menikahi orang yang baik (sholeh) dan yang masih bujang. Di samping itu, al-Qur’an juga menekankan akan adanya keluarga yang sakinah, mawaddah dan penuh rahmat bagi setiap pasangan yang secara langsung mengarungi bahtera rumah tangga. Banyak cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Salah satunya adalah upaya mencari calon isteri atau suami yang baik. Upaya tersebut bukan merupakan suatu yang kunci, namun keberadaannya dalam rumah tangga akan dapat menentukan baik tidaknya.
Permasalahan di atas dapat ditemukan jawabannya dalam hadis. Hadis telah disepakati oleh ulama sebagai dalil hukum. Sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an, hadis memiliki perbedaan dengan al-Qur’an. Salah satu perbedaannya adalah terletak dari periwayatannya. Al-Qur’an seluruhnya diriwayatkan secara mutawa>tir sedangkan tidak semua hadis diriwayatkan secara mutawa>tir. Kecuali terhadap hadis mutawa>tir, terhadap hadis a>h}a>d kritik tidak saja ditujukan kepada sanad tetapi juga terhadap matan. Di samping itu, dalam perspektif historis terungkap bahwa tidak seluruh hadis tertulis di zaman Nabi Muhammad saw., adanya pemalsuan hadis yang disebabkan adanya perbedaan mazhab dan aliran, proses penghimpunan hadis yang memakan waktu yang lama, jumlah kitab hadis dan metode penyusunan yang beragam serta adanya periwayatan bi al-ma’na. Sebab-sebab itulah yang mendorong pentingnya melakukan penelitian hadis.
Sebagai salah satu rukun perkawinan, adanya calon suami atau istri, maka kedudukan keduanya menjadi penting. Perempuan dan laki-laki yang dapat dinikahi mempunyai kriteria tertentu sebagaimana dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadisnya yang menyebutkan bahwa perempuan dinikahi karena empat hal. Walaupun khitab hadis tersebut terhadap perempuan, namun esensi kriterianya juga dapat diterapkan dalam teknik memilih jodoh yang baik.
Adapun bunyi teks hadis adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَكِيمٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Artinya:
Perempuan dinikahi karena empat faktor. Karena hartanya, nasabnya, kecantikannya dan karena agamanya. Maka menangkanlah wanita yang mempunyai agama, engkau akan beruntung.

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, al-Nasa’i, Abu Dawud Ibn Majah Ahmad ibn Hanbal, dan al-Darimi dalam kitabnya dari sahabat Abu Hurairah ra.
Hadis di atas mengisyaratkan tentang cara memilih jodoh yang baik. Rasulullah menjelaskan bahwa ada empat kriteria wanita yang dinikahi. Keempat kriteria tersebut adalah harta, nasab, kecantikan dan agama. Eksplorasi lebih jauh atas hadis-hadis tentang mencari jodoh ternyata tidak demikian adanya. Ada hadis yang hanya mencukupkan tiga syarat yakni harta benda, kecantikan dan agama. Namun, kesemuanya sabda Nabi Muhammad saw. tersebut lebih mengutamakan kebaikan dari sisi agama.
Ulama banyak yang memberikan syarat-syarat tertentu dalam memilih jodoh dalam pernikahan. Tentu satu dengan yang lainnya berbeda dalam menginterpretasikah hadis di atas. Bahkan ada yang mencukupkan diri syarat wanita yang dinikahi adalah mempunyai akhlak yang baik. Pembahasna tersebut terutama dapat dijumpai dalam masalah perwalian dan kafaah (kesepadanan).
Pada suatu saat Nabi Muhammad saw. melarang perkawinan terhadap wanita yang dilandasi dengan kecantikan, dan harta benda. Lebih lanjut Rasulullah saw. memberikan penyelesaian yang terbaik dengan kriteria agama dengan mengibaratkan terhadap budak wanita yang hitam legam yang beriman lebih utama untuk dinikahi. Sifat perempuan yang baik juga pernah dituturkan oleh Nabi Muhammad saw. Nabi menggambarkan seorang wanita yang dapat menyenangkan suaminya ketika dipandang dan melakukan apa yang diperintah-kan suaminya adalah sosok wanita yang baik. Di samping itu wanita yang tidak pernah menyalahi terhadap suaminya dalam hal harta benda dan hal-hal yang dibenci suaminya.
Permasalahan tersebut menjadi penting karena calon mempelai merupakan sesuatu yang penting karena dari sinilah rumah tangga nanti dibangun. Sekilas nampak bahwa wanita sebagai obyek dari hadis tersebut. Namun, jika ditelusuri secara mendalam, terdapat hadis lain yang memfokuskan masalah dengan memilih jodoh yang berspektif gender di mana perempuan juga dapat beperan dalam menentukan jodohnya. Hadis yang terakhir tidak banyak diekspos dan dalam kajian fiqh cenderung dimasukkan dalam permasalah perwalian yang di mana hak tersebut disandang kaum laki-laki.
Untuk mendudukkan bagaimana tuntunan Islam tentang pencarian jodoh sebagaimana tersebut dalam hadis di atas, maka penelitian ini penting dilakukan. Karena sering seseorang melaksanakan pemilihan jodoh dengan melandasi pikirannya dengan landasan normatif seperti al-Qur’an dan hadis. Oleh karena itu, agar pembahasan menarik, maka penelitian ini juga mengakitkan berbagai persoalan dan perdebatan yang hangat di kalangan ulama fiqh dan dalam tradisi Jawa. Upaya tersebut untuk mendapatkan pemahaman hadis dalam konteks kekinian yang lebih bersperspektif dan berkeadilan gender

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KONSTRUKSI MEDIA MASSA; STUDI ATAS MAJALAH UMMI PERIODE

Perkembangan industri media, seringkali dikaitkan dengan perkembangan masyarakat informasi. Dalam konteks masyarakat seperti ini, media memiliki peran yang signifikan. Media adalah sebagai sarana komunikasi antar berbagai subjek. Ia merupakan medium yang menjembatani relasi komunikasi seluruh anggota masyarakat. Sehingga dengan demikian media merupakan instrumen komunikasi yang sangat vital dalam masyarakat. Perkembangan industri media menjadi sangat strategis karena media memiliki peran yang cukup besar dalam masyarakat. Bahkan dalam batas-batas tertentu, media media telah mengalami pemaknaan yang sangat luas. Media dalam perkembanganya memiliki relasi dengan banyak faktor seperti; politik, ekonomi, sosial, budaya dll, sehingga dengan persinggungan tersebut media tidak lagi bisa dipandang independen. Begitu juga Majalah UMMI sebagai Majalah Islam yang menyuarakan kepentingan perempuan, menjadi tak bisa disangkal sangat dipengaruhi dalam pemberitaannya oleh komunitas dan realitas yang ada disekitarnya.
Penelitian ini mempertanyakan persoalan tentang bagaimana kedudukan perempuan dalam konstruksi majalah Ummi, khususnya edisi pasca reformasi, tahun 1998-2005?. Kedua, faktor apa saja yang mempengaruhi konstruksi majalah Ummi terhadap kedudukan perempuan. Dengan metode analisis wacana beserta critical linguistic yang kemudian diperkuat dengan analisa framing, penelitian ini dilakukan.
Adapun hasil temuan dari kinerja penelitian ini adalah; Pertama, Kedudukan perempuan dalam konstruksi Majalah UMMI khususnya edisi pasca reformasi tahun 1998-2005, masih kental akan adanya frame gagasan subordinat dan patriarkhis. Meskipun Majalah ini mengedepankan isu global akan pentingnya emansipasi wanita dengan menggunakan dasar-dasar dalil normatif dari al-Qur’an al-Karim, tidak bisa dipungkiri bahwa isu kontent berita yang termuat dari rentetan-rentetan paragrapnya masih cenderung patriarkhis. Terbukti masih banyaknya berita bahkan gambar-gambar dari cerita anak-anak Islam yang ada pada redaksi cerpen atau artikelnya, memberikan peran yang sangat domestik kepada kaum perempuan. Mayoritasnya, kaum perempuan masih diperankan sebagai pekerja domestik sedangkan kaum laki-laki sebagai pekerja publik.
Kedua, Faktor yang mempengaruhi konstruksi Majalah UMMI terhadap kedudukan perempuan adalah di antaranya; Pertama, adanya nuansa kebijakan-kebijakan pemerintahan Orde Baru. Dengan berbagai kebijakan-kebijakan yang terkesan mempetakan kaum perempuan sebagai pekerja domestik, awak Jurnalis Majalah UMMI khususnya edisi tahun 1998-2005 belum bisa melepaskan diri dengan konstruk sosial yang ada. Terkesan ada cengkraman kebijakan pmerintah Orde Baru. Hal itu tercermin dalam nuansa cerpen, berita, artikel dan cerita-cerita pendek. Bahkan cerita yang bernuansa Islam-pun terkena bias dari adanya kebijakan pemetaan pemerintah Orde Baru. Kedua, keringnya analisa dari awak Jurnalis Majalah UMMI terhadap perkembangan pemikiran jender, sangat mempengaruhi akan diturunkannya sebuah berita. Terkesan awak Jurnalis Majalah UMMI sengaja hanya menempatkan magnum opus pemikiran dan gagasan feminis tradisional. Tidak ada sama sekali keberanian analisa untuk melawan kebijakan pemerintah, mengakibatkan analisa yang dipakai sebatas analisa gagasan pemikiran feminis tradisional. Karena itu banyak muatan bahasa dalam pemberitannya, masih cenderung terkonstruk oleh realita kebijakan negara yang sangat patriarkhis.

GENDER MAINSTREAMING DALAM KURIKULUM MATA KULIAH AGAMA ISLAM DI PTN & PTS DI YOGYAKARTA

Kesetaraan perempuan merupakan problem mendasar dalam pendidikan. Berdasarkan kenyataan yang ada masih terdapat adanya kesenjangan antara laki-laki dna perempuan. Oleh karena itu, Departemen Pendidikan Nasional melalui upaya Pengarusutamaan Gender (PUG) melakukan pengurangan kesenjangan tersebut. Artikel ini adalah untuk melihat tentang PUG di Perguruan Tinggi Khususnya di DI. Yogyakarta. Untuk mendapatkan gambaran yang memadai tentang pengarus utamaan jender maka maka digunakan sample untuk UGM dna UNY sebagai PTN dan PTS diwakili oleh UII dan UPN. Matakuliah agama Islam dipilih karena dalam matakuliah tersebut masih ditemukan materi yang bias jender, seperti penciptaan perempuan dna sebagainya. Kenyataan menunjukkan bahwa kurikulum agama Islam di PTN dan PTS tersebut belum bernuansa netral gender baik dalam upaya penjelasan materi keagamaan ataupun ilustrasi kalimat yang dipakai dalam penjelasan materi. Selain itu, dalam model pembelajarannya, matakuliah Islam masih bias gender sepanjang mata kuliah agama diampu oleh pengajar/dosen yang belum sadar gender. Meskipun dosen mata kuliah agama memahami spirit Islam yang mendorong keadilan sesame gender

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KONSTRUKSI MEDIA MASSA; STUDI ATAS MAJALAH UMMI PERIODE

Perkembangan industri media, seringkali dikaitkan dengan perkembangan masyarakat informasi. Dalam konteks masyarakat seperti ini, media memiliki peran yang signifikan. Media adalah sebagai sarana komunikasi antar berbagai subjek. Ia merupakan medium yang menjembatani relasi komunikasi seluruh anggota masyarakat. Sehingga dengan demikian media merupakan instrumen komunikasi yang sangat vital dalam masyarakat. Perkembangan industri media menjadi sangat strategis karena media memiliki peran yang cukup besar dalam masyarakat. Bahkan dalam batas-batas tertentu, media media telah mengalami pemaknaan yang sangat luas. Media dalam perkembanganya memiliki relasi dengan banyak faktor seperti; politik, ekonomi, sosial, budaya dll, sehingga dengan persinggungan tersebut media tidak lagi bisa dipandang independen. Begitu juga Majalah UMMI sebagai Majalah Islam yang menyuarakan kepentingan perempuan, menjadi tak bisa disangkal sangat dipengaruhi dalam pemberitaannya oleh komunitas dan realitas yang ada disekitarnya.
Penelitian ini mempertanyakan persoalan tentang bagaimana kedudukan perempuan dalam konstruksi majalah Ummi, khususnya edisi pasca reformasi, tahun 1998-2005?. Kedua, faktor apa saja yang mempengaruhi konstruksi majalah Ummi terhadap kedudukan perempuan. Dengan metode analisis wacana beserta critical linguistic yang kemudian diperkuat dengan analisa framing, penelitian ini dilakukan.
Adapun hasil temuan dari kinerja penelitian ini adalah; Pertama, Kedudukan perempuan dalam konstruksi Majalah UMMI khususnya edisi pasca reformasi tahun 1998-2005, masih kental akan adanya frame gagasan subordinat dan patriarkhis. Meskipun Majalah ini mengedepankan isu global akan pentingnya emansipasi wanita dengan menggunakan dasar-dasar dalil normatif dari al-Qur’an al-Karim, tidak bisa dipungkiri bahwa isu kontent berita yang termuat dari rentetan-rentetan paragrapnya masih cenderung patriarkhis. Terbukti masih banyaknya berita bahkan gambar-gambar dari cerita anak-anak Islam yang ada pada redaksi cerpen atau artikelnya, memberikan peran yang sangat domestik kepada kaum perempuan. Mayoritasnya, kaum perempuan masih diperankan sebagai pekerja domestik sedangkan kaum laki-laki sebagai pekerja publik.
Kedua, Faktor yang mempengaruhi konstruksi Majalah UMMI terhadap kedudukan perempuan adalah di antaranya; Pertama, adanya nuansa kebijakan-kebijakan pemerintahan Orde Baru. Dengan berbagai kebijakan-kebijakan yang terkesan mempetakan kaum perempuan sebagai pekerja domestik, awak Jurnalis Majalah UMMI khususnya edisi tahun 1998-2005 belum bisa melepaskan diri dengan konstruk sosial yang ada. Terkesan ada cengkraman kebijakan pmerintah Orde Baru. Hal itu tercermin dalam nuansa cerpen, berita, artikel dan cerita-cerita pendek. Bahkan cerita yang bernuansa Islam-pun terkena bias dari adanya kebijakan pemetaan pemerintah Orde Baru. Kedua, keringnya analisa dari awak Jurnalis Majalah UMMI terhadap perkembangan pemikiran jender, sangat mempengaruhi akan diturunkannya sebuah berita. Terkesan awak Jurnalis Majalah UMMI sengaja hanya menempatkan magnum opus pemikiran dan gagasan feminis tradisional. Tidak ada sama sekali keberanian analisa untuk melawan kebijakan pemerintah, mengakibatkan analisa yang dipakai sebatas analisa gagasan pemikiran feminis tradisional. Karena itu banyak muatan bahasa dalam pemberitannya, masih cenderung terkonstruk oleh realita kebijakan negara yang sangat patriarkhis.